![]() |
Abdullah Fatih |
Oleh: Abdullah Fatih
“Tolak menolak menjadi satu itulah Indonesia.”
Begitulah perumpamaan dari sikap dalam memahami perbedaan, perbedaan ideologi, perbedaan kelas sampai pada perbedaan ritus keagamaan. Kondisi yang demikian itu tidak terlepas dari pelbagai respons yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, perbedaan yang sejatinya bukanlah menjadi aral dalam menikmati keberagaman namun justru telah berubah menjadi monster yang menakutkan.
“Kelompok hijau kanan menolak kegiatan yang dilakukan kelompok hijau kanan-kanan.”
“Kelompok hijau kiri bertentangan dengan kelompok hijau kanan.”
“Kelompok hijau kiri memaksa agar kelompok hijau kanan berhenti dan mengikuti apa yang dipahami oleh kelompok hijau kiri.”
Gambaran tersebut terkadang membuat banyak diantara kelompok merasa benar sendiri dengan apa yang mereka yakini, apa yang mereka kerjakan dan terhadap apa yang kelompok lain harus lakukan. Dari sikap tersebut dapatlah dibuktikan dengan sumir bahwa tidak susah untuk mencari perbedaan namunn sulit untuk memaknai perbedaan menjadi suatu kesatuan, bukan penyatuan dari terminologi tertentu namun persatuan dari peleburan perbedaan untuk satu tujuan bersama.
Kadang kala perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya secara lazim dipahami sebagai realitas yang harus dihadapi oleh setiap kelompok tanpa terkecuali. Baik dalam lingkungan terkecilnya sampai dengan lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak ada seorang-pun yang mampu keluar dan menolak ketetapan status quo dari Tuhan Yang Maha Esa, ketetapan yang barangkali satu diantara beberapa ketetapan yang bersifat absolute yang mengikat semua kelompok.
Hanya saja, sekarang ini tengah muncul banyak persoalan yang seolah membuat disparitas tersendiri dalam banyak ruang sosial, agama bahkan budaya. Kondisi yang demikian semakin menjauhkan trah masyarakat yang plural dengan hanya mengakui keberadaan kelompoknya saja, tanpa harus bersusah payah untuk mengakui keberadaan kelompok lainnya yang berbeda. Apakah hal ini wajar untuk diterima? Mungkin untuk sebagan besar orang menilai hal yang demikian tersebut sudah tidak sesuai dengan nilai asasi yang diakui, baik pengakuan atas suatu bangsa atau bahkan pengakuan individu.
Mengapa hal tersebut terjadi di tengah kondisi perbedaan yang tidak bisa untuk dihalangi, justru semakin menghalangi perbedaan akan membuat perbedaan tersebut menjadi fenomena. Fenomena yang dimana orang akan memaknai perbedaan sebagai kondisi yang alamiah, bahkan lucunya adalah ketika perbedaan tersebut cenderung memecah belah dengan dalih atas nama Pancasila.
Apakah perbedaan atas berbagai kondisi seperti yang telah disebutkan di atas hanya dapat dimaknai dalam batasan-batasan parsial saja? Mengapa perbedaan justru cenderung melihat perbedaan satu dengan perbedaan tertentu merupakan dua hal yang tidaklah sama? Jika dimaknai lebih jauh, terkadang dengan melihat kondisi perbedaan tertentu tersebut adalah sikap yang membeda-bedakan antara satu perbedaan dengan perbedaan lainnya yang terkesan menimbulkan sikap menutup diri dalam kehidupan masyarakat yang heterogen.
Serupa namun tak sama, begitulah perkataan dari kelompok yang seolah menjadi pemilik atas kehendak memberikan status perbedaan tersebut kepada kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan berbeda dengan-nya. Seolah-olah perbedaan menjadi milik yang absolute dari kelompok ini, dengan sikap tertutup (eksklusif) itulah yang kemudian semakin meneguhkan kelompok-nya sebagai pemegang kendali layaknya hakim dalam ruang sidang pengadilan.
Sebagian orang menerima apa yang ditentukan oleh tersebut, namun tidak sedikit juga yang justru berseberangan dengan kelompok tersebut. Baik karena perbedaan dalam menyikapi sampai pada perbedaan dari cara bersosialisasi. Hal tersebut kemudian dirasakan sebagai dekadensi moral dari berbagai kelompok yang terbentuk dikarenakan kesamaan khusus baik karena kesamaan rasa, agama, ideologi sampai budaya. Menyikapi perbedaan dalam kehiduan yang plural, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur mempraktikkan 3 (tiga) sikap dalam menyikapi perbedaan yakni; Pertama, plural dalam pemikiran (plural in mind). Kedua, plural dalam perilaku (plural in attitude) dan Ketiga, plural dalam tindakan (plural in action).
Apa yang ditunjukkan oleh Gus Dur merupakan suatu cerminan yang seharusnya dapat dilakukan oleh setiap kelompok yang berbeda tanpa terkecuali, hal tersebut juga menunjukkan ciri masyarakat yang permisif. Sikap yang permisif tersebut juga sudah tentu sebagai modal besar untuk memajukan kehidupan bersama di tengah kondisi heterogenitas masyarakat yang ada, baik dalam lingkungan kelompok-nya maupun sampai pada lingkungan berbangsa dan bernegara. Selain itu, sikap permisif juga menjadi pra-syarat untuk setiap kelompok tanpa terkecuali untuk menerima perbedaan yang ada sebagai sebuah kelaziman yang tidak dapat mereka tolak dalam ruang-ruang kehidupan.
Jika perbedaan dulu dianggap sebagai sebuah kesalahan, maka hari ini semua orang haruslah berfikir kembali. Perbedaan adalah suatu kondisi yang baik fisik maupun ideologi memiliki ciri pembeda antara satu dengan yang lain, dan karena hal tersebut perbedaan haruslah dimaknai sebagai hal yang tetap tanpa perlu mendebatkan bagaimana sikap terhadap memaknai perbedaan yang terjadi.
Melihat perbedaan berarti melihat kehidupan, antara kehidupan dan perbedaan tidak lagi dipisahkan dan membuat keduanya berada pada dua sisi yang berbeda. Konsep perbedaan sendiri dalam ajaran agama Islam sejatinya merupakan suatu kodisi yang membuat manusia harus saling kenal mengenal antara satu sama lain, dan dari saling kenal mengenal tersebut terjalin ukhuwah yang menguatkan rasa persaudaraan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dengan demikian, perbedaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak keberadaannnya, baik dalam ruang kelompok maupun dalam ruang berbangsa dan bernegara. sekaras apapun usaha yang dilakukan untuk menolaknya, perbedaan sejatinya ketetapan yang bersifat status quo oleh Tuhan Yang Maha Esa. Konsepsi dasar tersebut menjadi alasan mengapa perbedaan yang terjadi bukan sesuatu yang diciptakan kelompok namun terbentuk secara naturalia karena begitulah seharusnya.
(Penulis merupakan Advokat di Kantor Hukum Farseim Law Office and Partners)