Oleh:
Abdullah Fatih, S.H.
Sebagian dari masyarakat menilai
jika bangunan hukum yang selama ini dijalankan bukanlah sesuatu yang harus dan/atau
mutlak untuk dijalankan. Anggapan tersebut dikarenakan kegagalan sebuah sistem
untuk bekerja berdasarkan hukum, dan berbuntut pada hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.
Selain itu, hukum yang
diyakini sebagai sebuah pelembagaan norma tidak dapat memberikan maksud dan tujuan
dari norma tersebut. Hingga pada akhirnya hukum yang ada adalah hukum yang
rapuh. Sebagai sebuah bangunan yang tidak dapat berdiri kokoh jika kerangka
pondasi yang dibawahnya tidak kuat, hukum hanya gagah secara formil namun telah
runtuh secara materil.
Jika dipahami lebih lanjut,
hukum memang hanyalah sebatas norma yang terkodifikasi dengan maksud dan tujuan
dari setiap perumusannya namun untuk berfungsinya kembali lagi kepada
masyarakat yang menjalankan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Erman
Rajagukguk “Hukum itu tidak selalu tegak. Sekali tegak, sekali runtuh.
Karenanya, ia tergantung pada tingkah laku manusia. Tugas kita adalah: tegakkan
ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.”
Hukum juga bukanlah sesuatu
yang absolute dalam keberlakuaannya di dalam masyarakat, hal ini tentu
sangat berkaitan dengan budaya hukum yang diterima dan hidup di dalam
masyarakat. Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Lawrance Friedman yang
menyatakan jika suatu hukum dapat berjalan dengan baik apabila telah dapat
menyesuaikan dengan 3 (tiga) prinsip dasar yang salah satunya adalah
budaya hukum masyarakat.
Budaya hukum sangat erat
kaitannya dengan bagaimana hukum yang ada telah sesuai dengan keyakinaan hukum
masyarkat. Masyarakat tentu memiliki standar tertentu dalam menilai hukum,
bukan hanya sebatas hukum yang tertulis saja namun juga hukum-hukum lain yang
hidup dan diyakini serta dipatuhi oleh masyarakat. Budaya hukum juga memiliki
peranan penting dikarenakan memiliki keterkaitan erat dengan kepatuhan
masyarakat terhadap hukum.
Jika masyarakat tidak lagi
mempercayai suatu hukum, maka masyarakat akan mencari hukum lain atau bahkan
menciptakan hukum baru untuk menggantikan hukum yang lama. Perilaku tersebut
dalam teori antroposentris telah dikenal lama, dimana masyarakat akan memilih
apa yang menurut mereka benar dan sesuai dengan kebutuhannya.
Keadaan hukum yang hari ini
hanya gagah jika diperhatikan dari berbagai produk hukum yang ada tidak mampu
memberikan kepuasaan yang khusus kepada masyarakat. Tentu banyak faktor yang
menyebabkan hal demikian, namun apakah keberadaan yang tak dianggap tersebut
akan terus dibiarkan sampai terbukti jika hukum yang ada telah gagal dalam
memberikan jaminan penegakan hukum yang masyarakat amini.
Seperti kata pepatah, tidak
ada gading yang tak retak maka begitupula dengan hukum. Tidak ada hukum yang
sepenuhnya benar, setiap hukum mewakili kepentingan dari maksud dibuatnya.
Inilah realitas yang dapat disaksikan di dalam setiap ruang interaksi antara
masyarakat dengan hukum. Tidak hanya dalam urusan publik, orang per orang dalam
kelompok yang privat mulai meragukan efektivitas hukum dalam memberikan
perlindungan yang dijanjikan oleh hukum.
Maka dengan demikian, kondisi
yang terjadi dimana masyarakat tidak lagi melihat hukum sebagai sebuah bangunan
aturan yang memberikan batasan dan perlindungan kepada masyarakat merupakan
sebuah paradoks. Pada satu sisi pelembagan hukum dilakukakan tidak lain untuk
memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Namun pada sisi
lain, hukum malah tidak mecerminkan keadilan dan hanya menjadi alat kepentingan
dari pihak-pihak yang mewakili hukum di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, wajar ketika
argumentasi tentang hukum yang rapuh adalah kebenaran yang dapat diterima,
sekalipun masih ada yang meyakini kebenaran sebaliknya. Bukan tidak mungkin,
hukum adalah hukum yang rapuh dimana masyarakat tidak lagi menerima hukum dan hukum
tidak lagi merepresentasikan masyarakat sebagai tujuan dibuatnya hukum.
(Penulis merupakan Advokat di
Farseim Law Office and Partners)